Modulu-dulu dan Mohangu, Bukan Tradisi Biasa Masyarakat Lembah Bada
Modulu-dulu dan Mohangu
Bukan Tradisi Biasa Masyarakat Lembah Bada
Bukan Tradisi Biasa Masyarakat Lembah Bada
Cahaya bulan memantul di Sungai Lariang. Di seberangnya, ada sebuah desa seperti bersembunyi di antara rimbunan pohon. Untuk menuju ke sana, jembatan gantung yang memotong Sungai Lariang sekaligus pintu gerbang desa, harus dilalui.
Desa itu adalah Tomehipi. Berada di Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sedangkan Lariang adalah sungai terpanjang di Sulawesi. Hulunya di Sulawesi Tengah, mengalir hingga ke Sulawesi Barat.
Di sini sebagian masyarakatnya memanfaatkan hasil hutan bukan kayu [HHBK] sebagai produk lokal. Sebut saja celengan dari rotan, bakul atau tempat beras, tempat buah-buahan, piring serta gelang. Saat ini, wilayah hutan yang ada di Desa Tomehipi tengah diusulkan menjadi hutan desa.
Malam di pertengahan Juli 2019. Saya ditemani mitra Green Livelihood Alliance dari Poso dan Palu, menjejaki jembatan gantung Sungai Lariang. Di pintu gerbang, suara sound system terdengar menggema. Di balai kampung, seorang pendeta tampak memimpin doa ibadah syukuran. Acara itu digagas kelompok pemuda. Tomehipi adalah satu dari sekian desa yang berada di Lembah Bada, kawasan di jantung Pulau Sulawesi.
Satu jam usai doa, acara dilanjutkan modulu-dulu. Ini tradisi orang Bada merayakan syukuran. Ratusan orang duduk melantai, membentuk kelompok, mulai dari 4-7 orang atau lebih. Mereka makan bersama.
“Modulu-dulu semacam menikmati sajian kuliner, mempererat hubungan kekerabatan orang Bada,” kata Muhamad Amin, staf dari Yayasan Panorama Alam Lestari [YPAL], lembaga nonpemerintah berbasis di Kota Poso.
YPAL mitra Green Livelihood Alliance yang didukung NTFP-EP Indonesia [Non Timber Forest Product-Exchange Programme]. Mereka bekerja di lanskap Lariang yang mencakup Kecamatan Kulawi dan Kulawi Selatan Kabupaten Sigi, serta Kecamatan Lore Barat, Lore Utara, dan Lore Piore, Kabupaten Poso.
Dalam tradisi modulu-dulu, setiap orang membawa makanan yang diambil dari wilayah desa. Baik itu ikan yang bersumber dari Sungai Lariang, ayam hutan, tikus hutan, katak, hingga babi. Makanan itu diletakan di daun pisang, disantap bersama. Tak lupa mereka membawa saguer, minuman dari pohon aren. Tomehipi dan beberapa daerah lainnya di Lembah Bada memiliki suhu udara dingin.
Hendrik Mangela [73], tokoh masyarakat Lembah Bada menjelaskan, tradisi modulu-dulu dimulai 1930-an saat orang Bada mulai tahu membuat sawah menggunakan kaki kerbau sebagai pembajak. Saat makan siang, pemilik sawah yang berdekatan itu, 20-an orang, membagi diri; setiap kelompok 4 orang. Nasi diletakan di tengah, beralaskan daun pisang. Mereka berbagi sayur dan lauk, dengan cara masak berbeda.
“Tradisi ini masih berlangsung dan terus ditingkatkan. Kegunaannya menjaga persaudaraan, kebersamaan, dan menyelesaikan masalah bersama demi kepentingan umum. Jika ada pejabat, mereka duduk melantai, setara dengan lainnya,” ungkap Hendrik.
Selanjutnya, seorang pemandu acara memanggil beberapa pemuda dan pemudi maju ke depan, menyanyikan lagu. Ini pergaulan di Tomehipi agar lebih akrab. Setelah prosesi itu, mereka membuat lingkaran dan menari dero atau modero, ungkapan rasa syukur. Hingga larut malam kegembiraan itu bergema.
Tradisi Mohangu
Pagi di saat matahari mulai meninggi. Orang-orang ramai di sudut kampung Desa Bewa, Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso. Mereka membawa alat penangkap ikan berbahan dasar bambu anyam. Jika bubu hanya ditaruh di bawah air sambil menunggu ikan masuk perangkap, alat ini dipakai aktif oleh penggunanya.
“Namnya hangu. Kegiatan menangkap ikan disebut mohangu,” kata Burhan Lamama, warga Desa Bewa.
Mereka yang mendiami Lembah Bada memiliki ragam kearifan lokal, seperti mohangu ini. Tradisi menangkap ikan yang sudah lama. Sama halnya modulu-dulu, kegiatan ini memiliki nilai kebersamaan dan kekerabatan tanpa melihat status gender atau sosial. Ratusan orang, mulai anak-anak, remaja hingga dewasa, campur bersama mencari ikan di kolam seluas satu hektar.
“Setiap orang bisa menangkap ikan sepuasnya, tanpa batasan. Jenisnya ada ikan mas, mujair, gabus, nila, lele, dan sebagainya,” kata Burhan lagi.
Mohangu tidak dilakukan setiap saat, kadang setahun sekali. Kadang, pada acara tertentu. Saat ini, setiap warga yang ikut dikenakan biaya senilai Rp 50.000, dibayar ke pemilik kolam. Setelah itu dipersilakan menangkap sepuasnya.
“Dulu, jika ada yang mendapat 10 ekor, satu ekor diberi ke pemilik kolam. Jika dapat 20 ekor diberi du ekor, begitu seterusnya,” ungkap Hendrik Mangela, tokoh masyarakat Lembah Bada.
Menurutnya, tradisi ini diawali ketika orang-orang Bada yang terbiasa bercocok tanam dan berburu, mencari cara lain mendapatkan lauk. Mereka mencari di sungai untuk mendapatkan ikan besar dan juga kolam, menggunakan bambu yang dibuat sedemikian rupa.
Agus Tohama, pemandu wisata senior di Lembah Bada mengatakan, banyak wisatawan asing datang ke Lembah Bada hanya untuk melihat tiga hal. Pertama, penasaran situs-situs megalitik seperti arca atau patung Palindo yang posisinya miring. Kedua, menyaksikan keindahan alam dan hutan Lembah Bada hingga melakukan jungle tracking. Ketiga, penasaran dengan budaya di Lembah Bada.
“Umumnya, wisatawan mancanegara yang datang dari Eropa,” pungkasnya.
sumber:
https://www.mongabay.co.id/2019/08/06/bukan-tradisi-biasa-masyarakat-lembah-bada/
Komentar
Posting Komentar