Indonesia terdiri atas ribuan suku dan budaya. Setiap suku dan budaya memiliki keragaman serta
keunikannya masing-masing, semuanya sangat otentik dan mempunyai
kearifan lokal dalam setiap identitas kehidupan mereka. Wilayah
timur Indonesia, Pulau Seram Maluku memiliki satu suku tua
yaitu Suku Huaulu. Suku asli di Pulau Seram ini menempati bagian utara
Pulau Seram dan pemukimannya berlokasi tepat di kaki gunung Binaiya.
Suku
Huaulu merupakan suku asli Maluku, Ambon yang sangat dihormati oleh
seluruh penduduk Pulau Seram. Meskipun dahulu banyak yang menyebutkan
bahwa suku ini merupakan suku kanibal, namun kenyataannya pada masa
modern ini suku Huaulu dikenal dengan sosok pribadi yang ramah, dan
gemar bercanda, selain itu suku ini sangat menghormati alam.
Suku
Huaulu memang tidak terlalu membuka diri terhadap perubahan modern,
namun mereka sangat mencintai damai, mereka sangat menghargai dan
menerima siapapun yang ingin mengenal mereka secara lebih dekat. Suku
ini merupakan salah satu contoh kearifan lokal sejati yang dimiliki oleh
Indonesia Timur dan perlu kita jaga.
Bicara
soal suku Huaulu tentu tidak akan lepas dari keberadaan rumah adat yang
mereka jadikan sebagai tempat tinggal. Rumah adat yang biasa disebut
Baileo ini mempunyai makna penting di dalam eksistensi suku tersebut.
Sejak dahulu, rumah adat mereka menjadi salah satu hal yang paling
menonjol bagi kehidupan di pemukiman Huaulu. Bahkan, untuk mendirikan
rumah adat tersebut harus mengadakan sebuah upacara adat dengan berbagai
ritual di dalamnya.
Konon dahulu kala, dalam ritual mendirikan Baileo tersebut harus menggunakan tengkorak
manusia di tiap tiang penyangga yang merupakan musuh dari suku Huaulu yang telah meninggal.
Tengkorak tersebut biasanya digunakan sebagai pondasi utama dari
tiang-tiang di seluruh bangunan. Namun seiring perkembangan zaman,
ritual tersebut diganti dengan sebuah tempurung kelapa pada setiap
tiangnya.
Rumah adat Baileo ini merupakan rumah adat utama yang
digunakan sebagai tempat berkumpul seluruh warga desa. Dahulu, Baileo
juga biasa dijadikan sebagai rumah Raja atau Kepala Desa dan juga biasa
dijadikan sebagai tempat beribadah.
Masyarakat desa biasa
mengadakan pertemuan di Baileo ini guna membahas terkait kehidupan warga
atau pun membicarakan mengenai strategi perang melawan musuh-musuh
mereka. Namun, pada era modern seperti saat ini fungsi Baileo sama sama
seperti fungsi Balai Desa.
Tiang penyangga rumah adat suku Huaulu | Foto : Indonesiakaya
Baileo
memang bukan rumah tinggal untuk warga, namun dari bentuk umum Baileo
kita akan mendapatkan gambaran rumah tradisional Suku Huaulu. Secara
umum, Baileo berbentuk rumah panggung yang memiliki banyak tiang
penyangga, biasanya tiang tersebut diberi hiasan serta ukiran yang
menunjukan bahwa Baileo merupakan sebuah rumah yang istimewa
dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya.
Dengan menaiki tangga
berukuran sekitar 1,5 meter maka kita akan diajak untuk memasuki ruang
utama yang merupakan tempat berkumpulnya seluruh warga desa. Tempatnya
pun cukup besar dan terbuka tanpa adanya penyekat jendela maupun pintu.
Tempat duduk yang panjang terdapat di sekeliling bagian dalam bangunan
tersebut.
Di salah satu sudut Baileo, terdapat sebuah ruangan
yang biasa dijadikan sebagai ruangan privasi berupa kamar tidur.
Uniknya, kamar tidur tersebut tidak sekedar difungsikan sebagai tempat
istirahat, namun suku Huaulu menggunakan ruangan tersebut untuk memasak
dan kegiatan rumah tangga lainnya.
Ruang untuk berkumpul warga desa suku Huaulu | Foto : Indonesiakaya
Bentuk
rumah ini juga ditiru oleh tempat tinggal warga lainnya. Secara umum,
rumah di suku ini hanya terdiri dari dua bagian. Satu bagian yang
terbuka dan bersifat sosial, dan yang kedua lebih tertutup biasa
digunakan untuk segala macam kegiatan privasi keluarga.
Rumah
Suku Huaulu sangat bersahabat dengan alam, karena semua material yang
digunakan merupakan material alami seperti kayu, bambu, dana tap rumbia.
Bahkan terdapat beberapa rumah yang sama sekali tidak menggunakan paku
untuk menyatukan bagian-bagian lainnya.
Modulu-dulu dan Mohangu Bukan Tradisi Biasa Masyarakat Lembah Bada Cahaya bulan memantul di Sungai Lariang. Di seberangnya, ada sebuah desa seperti bersembunyi di antara rimbunan pohon. Untuk menuju ke sana, jembatan gantung yang memotong Sungai Lariang sekaligus pintu gerbang desa, harus dilalui. Desa itu adalah Tomehipi. Berada di Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sedangkan Lariang adalah sungai terpanjang di Sulawesi. Hulunya di Sulawesi Tengah, mengalir hingga ke Sulawesi Barat.
Komentar
Posting Komentar