Seputar PEPERA

 SEPUTAR PEPERA
by Samuel Ronny

Otoritas Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA) pada 1 Mei 1963 menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia sesuai amanat Perjanjian New York. Upacara penyerahan berlangsung di Kota Baru, Papua Barat. Pemerintah Indonesia diwakili Sudjarwo Tjondronegoro. Sekretaris Jenderal PBB U Than mengirimkan utusannya, CV Nawasimhan. Satu maklumat yang masih tersisa dari Perjanjian New York, pemerintah Indonesia harus melaksanakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua selambat-lambatnya pada 1969.


Perjuangan untuk sampai terlaksananya PEPERA tidaklah mudah dan cepat. Dalam perjuangannya mempertahankan Papua Barat atau Irian Jaya, Presiden pertama Soekarno terus menerus memompa semangat warga bangsa. Baik di dalam negeri maupun luar negeri. Kadang dengan gayanya mengemukakan bahwa "hanya selebar daun kelor" dalam memandang wilayah Papua bila dibandingkan dengan kepulauan Indonesia seluruhnya. Namun Bung Karno juga menekankan: “Akan tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami,” kata Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam otobiografi Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Lebih lanjut, “Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya dipotong begitu saja tanpa membalas sedikitpun? Apakah orang tidak akan berteriak kesakitan, apabila dipotong ujung jarinya sekalipun hanya sedikit?”. Demikian juga dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) akhir 1949, Belanda menolak menyerahkan wilayah itu. Alasannya, secara etnis dan kebudayaan, rakyat Irian Barat berbeda dari Indonesia. Sehingga tak ada alasan bagi Indonesia mengklaim Papua. Numun Soekarno tak kalah dalam memberikan argumentasinya: “Mengapa tidak?” tanya Sukarno. “Apakah mereka (rakyat Papua) lebih mirip dengan orang Belanda yang berpipi merah, berambut jagung dan dengan muka berbintik-bintik itu?”
Lebih jauh Sukarno menguraikannya saat berpidato di Lapangan Banteng pada 18 November 1957. Dalam pidatonya berjudul “Djangan Ragu-ragu Lagi!”, Sukarno mengatakan sesuai Undang-Undang Dasar bahwa wilayah Republik Indonesia adalah Indonesia. “Nah, Indonesia itu apa? Indonesia ialah segenap kepulauan antara Sabang dan Merauke,” ujar Sukarno. Ini merupakan dasar legal tuntutan Indonesia atas Papua. Legal berlandaskan hukum melalui perundingan dan perjanjian antara Indonesia dengan Belanda.


Upacara penyerahan kekuasaan Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah Republik Indonesia, 1 Mei 1963. Foto: Dokumentasi Kementerian Luar Negeri.

Sesuai Perjanjian New York maka, pada 22 Agustus 1968, Sekjen PBB mengutus wakilnya, Dr Fernando Ortiz Sans, ke Irian Barat untuk mempersiapkan dan mengatur jalannya peristiwa bersejarah bernama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) –ada juga yang menyebutnya Tindakan Pemilihan Bebas.
Mula-mula dibentuklah Dewan Musyawarah Pepera (DMP) beranggotakan 1.025 orang, mewakili sekitar 800.000 penduduk Papua. Adanya Dewan Musyawarah Pepera (DMP) walau banyak yang mempersalahkan namun sangat logis jika melihat situasi dan kondisi saat itu. Dimana wilayah dan sebaran penduduk yang menyulitkan untuk dapat dilaksanakan secara ‘satu orang, satu suara’ (one man one vote) belum lagi masalah tingkat pendidikan. Sampai saat ini pun sistem perwakilan atau noken tersebut masih diberlakukan untuk beberapa wilayah di Papua dalam suatu Pemilihan Umum atau pemilihan daerah. Tindakan menyesuaikan situasi dan kondisi tersebut juga sudah dimengerti oleh utusan PBB yang bertugas disana saat itu Perjanjian New York.
Pepera dilaksanakan secara bergiliran di delapan kabupaten di Irian Barat. Pertama di Merauke pada 14 Juli 1969, terakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.
Hasil Pepera, diumumkan pada 2 Agustus 1969, menetapkan Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Tak lama kemudian, pada 19 November 1969, Majelis Umum PBB melakukan pemungutan suara untuk rancangan resolusi yang disampaikan bersama oleh Indonesia dan Belanda. Hasilnya, 84 suara mendukung, tidak ada yang menolak, dan 30 suara abstain.


Dewan Musyawarah Pepera (DMP) saat sidang Pepera. Foto: Repro buku "Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat" karya Suyatno Hadinoto



Resmi sudah Irian Barat ke tangan Indonesia. Namun demikian, sebagian  meragukannya terkait hasil PEPERA. Seperti Ester Yambeyabdi dalam tesisnya Papua Barat dalam Perundingan Indonesia-Belanda (1954-1963), menyorot terkait absennya beberapa negara peserta pemungutan suara untuk rancangan resolusi (akhirnya lahir Resolusi PBB No. 2504) yang disampaikan bersama oleh Indonesia dan Belanda, namun ia juga mengemukakan bahwa “... secara umum mendukung kembalinya wilayah itu ke Republik Indonesia,". Sedangkan keberatannya pada fakta bahwa  tidak tercakup prinsip ‘satu orang, satu suara’ di dalam Pepera, dimungkinkan karena yang bersangkutan tidak mengalami situasi dan kondisi saat itu.
Sedangkan menurut Amirudin Al Rahab dalam Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, sebagian rakyat Papua menganggap Papua sudah jadi negara berdaulat sebelum ada penyerahan pemerintahan dari UNTEA ke Indonesia ditandai dengan terbentuknya Nieuw Guinea Raad (Dewan Papua) pada 25 Februari 1961. Hal ini bagi Indonesia adalah terlarang. Pemerintah Indonesia membubarkan dan melarang semua organisasi sosial dan politik, termasuk Dewan Papua yang menjadi simbol kedaulatan Papua.

Disisi lain dalam buku Tindakan Pilihan Bebas Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, Prof  PJ Drooglever menyebutkan pembentukan Dewan Papua (Nieuw Guinea Raad) 1961 terjadi karena tekanan dari luar, dan dilaksanakan dalam waktu yang cepat tanpa dikehendaki pemerintah dan penduduk serta diperparahkan dengan keterbatasan waktu bagi para amtenar untuk menjalankannya. Hal ini menambah keyakinan anggapan bahwa partai-parta di Papua upaya Belanda dalam mempertahankan wilayah jajahannya yang sedang dalam kondisi terjepit. Oleh karenanya tak heran kalau muncul anggapan terbentuknya partai lokal di Tanah Papua sejak jaman penjajahan Belanda dinilai terlambat. Bayangkan partai lokal baru dibentuk awal 1960 an saat masalah Papua menyeruak di Perserikatan Bangsa-Bangsa antara Belanda dan Indonesia. Mestinya sejak dulu saat Belanda menginjakan kakinya di Bumi Papua. Bahkan atas tekanan pihak luar tak lain dapat diyakini adalah upaya Belanda hingga terpaksa partai-partai lokal harus hadir di tengah ketergesaan akibat konflik antara Belanda dan Indonesia.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh H. Amir Machmud H. dalam buku Amir Machmud: Prajurit Pejuang dimana ia menyatakan:
“Bagi saya status Irian Barat telah jelas yaitu wilayah Republik Indonesia. Sebab itu tidak perlu diperdebatkan lagi dari segi hukum internasional,"
Lebih jauh menurutnya propaganda Belanda yang menjajah mereka sekian lama masih mengakar kuat. Jadi, tidak mengherankan apabila sebagian penduduk enggan bergabung dengan Republik.



sumber:
https://historia.id/politik/articles/setengah-abad-papua-bersama-indonesia-DAk1P
https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/Volume%20437/volume-437-I-6311-English.pdf
https://www.tabloidjubi.com/16/2013/11/03/partai-politik-dan-nieuw-guinea-raad/
https://historia.id
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/12/09/mengenal-noken-sistem-unik-pemilu-di-papua
Internet

Komentar